Jumat, 18 Maret 2011

catatan dari pengalaman berada di jepang saat bencana gempa, tsunami, dan krisis nuklir 2011

Ketangguhan Jepang Memukau Dunia

Ketangguhan Jepang menghadapi tekanan tiga bencana besar sekaligus, yakni gempa bumi, tsunami, dan radiasi nuklir, memukau dunia. Reputasi internasional Jepang sebagai negara kuat mendapat pujian luas. Tak adanya penjarahan menguatkan citra ”bangsa beradab”.

Pemerintah Jepang, Selasa (15/3), terus memacu proses evakuasi dan distribusi bantuan ke daerah bencana yang belum terjangkau sebelumnya. Seluruh kekuatan dan sumber dayanya dikerahkan maksimal ke Jepang timur laut, daerah yang terparah dilanda tsunami.

Evakuasi korban tsunami berjalan seiring dengan evakuasi ribuan warga yang terancam terpapar radiasi nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, utara Tokyo. Prefektur Fukushima juga termasuk salah satu daerah korban gempa dan tsunami yang terjadi pada Jumat lalu.

Televisi, media cetak, radio, dan situs berita online di seluruh dunia telah merilis bencana itu. Hal yang mengagumkan dunia, seluruh kejadian serta momen dramatis dan mendebarkan direkam televisi Jepang detik demi detik, sejak awal gempa, datangnya tsunami, hingga air bah itu ”diam”.

Jepang lalu mengabarkan drama amuk alam yang menyebabkan lebih dari 10.000 orang tewas dan 10.000 orang hilang itu ke seluruh dunia. Meski sempat panik, Jepang dengan cepat bangkit, mengerahkan seluruh kekuatannya, mulai dari tentara, kapal, hingga pesawat terbang. Jumlah tentara dinaikkan dua kali lipat dari 51.000 personel menjadi 100.000 personel. Sebanyak 145 dari 170 rumah sakit di seluruh daerah bencana beroperasi penuh.

Sekalipun kelaparan dan krisis air bersih mendera jutaan orang di sepanjang ribuan kilometer pantai timur Pulau Honshu dan pulau lain di Jepang, para korban sabar dan tertib menanti distribusi logistik. Hingga hari keempat pascabencana, Selasa, tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya.

Associated Press melukiskan, warga Jepang tenang menghadapi persoalan yang ditimbulkan bencana. Sisi lain yang diajarkan masyarakat Jepang ialah sikap sabar meski mereka diliputi dukacita akibat kehilangan orang-orang terkasih. Mereka sabar menanti bantuan. Pemerintah bisa lebih tenang untuk fokus pada evakuasi, penyelamatan, dan distribusi logistik.

Bencana terbaru adalah bahaya radiasi nuklir akibat tiga ledakan dan kebakaran pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Dari enam reaktor nuklir, empat di antaranya telah bermasalah. Jepang belajar dari kasus Chernobyl dan membangun sistem PLTN-nya lebih baik. Pemerintah menjamin tak akan ada insiden Chernobyl di Jepang.

”Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mengambil langkah-langkah selama belum ada permintaan. Jepang adalah negara paling siap di dunia (menghadapi bencana),” kata Elisabeth Byrs, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), kepada Reuters.

Byrs melanjutkan, ”Jepang menanggapi tiga darurat sekaligus, yakni gempa, tsunami, dan ancaman nuklir, dan melakukannya dengan sangat baik.”

Para blogger dan pengguna situs jejaring sosial berbahasa Inggris memuji Jepang sebagai bangsa yang tabah (stoic) dan bertanya-tanya tentang kemampuan bangsa lain, terutama di Barat, jika diguncang tiga bencana besar sekaligus. Mereka memuji Jepang adalah sebuah bangsa yang hebat, kuat, dan beretika.

Profesor Harvard University, Joseph Nye, mengatakan, bencana telah melahirkan Jepang sebagai bangsa soft power. Istilah itu diciptakannya untuk melukiskan Jepang mencapai tujuannya dengan tampil lebih menarik bagi bangsa lain.

Saat bencana dan tragedi kemanusiaan mengundang simpati dari dunia Jepang, citra negara yang tertimpa bencana jarang mendapat keuntungan dari bencana tersebut. Pakistan, misalnya, menerima bantuan AS dan negara lain saat dilanda banjir bandang tahun lalu. Namun, bantuan individu sangat sedikit, yang disebabkan citra negeri itu di mata dunia. China dan Haiti juga menghadapi kritik atas penanganan gempa bumi tahun 2008 dan 2009.

Menghadapi kebutuhan akan dana rekonstruksi skala besar, Jepang masih menimbang tawaran internasional. ”Meski dilanda tragedi dahsyat, peristiwa menyedihkan, ada fitur-fitur yang sangat menarik dari Jepang,” kata Nye kepada AFP.

Pascal S Bin Saju (KOMPAS, Rabu, 16 Maret 2011 | 07:39 WIB)

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

Semangat Bangkit Orang Jepang Luar Biasa

Seorang pemuda memakai kacamata membagikan ramen, mi rebus, kepada beberapa orang di tempat penampungan korban tsunami. Oleh wartawan TV ditanya dari grup relawan mana. Pemuda itu menjawab, “Bukan. Volunteer. Saya memang penduduk sini dan pekerjaan saya memang menjual ramen. Rumah dan warung saya juga hilang dan tidak ada lagi. Akan tetapi, saya tidak sendirian. Oleh karena itu dalam keadaan sekarang kita bersama-sama melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membangun kembali”.

Bukan tangis dan ratapan yang ditunjukan, tetapi semangat untuk bangkit kembali karena menyadari yang mengalami musibah kehilangan rumah dan pekerjaan bukan dia sendiri.

Dua orang bapak berdiri di atas bukit kecil, memandang ke bawah, ke kota kecil yang sekarang sudah tidak ada lagi rumah yang berdiri. Dia menunjukkan lokasi rumahnya dulu. Tampak bahwa tidak hanya rumah yang hilang, tapi juga “kota” atau “kampung” semua hilang ditelan tsunami. Semangat tetap tecermin dalam diri bapak-bapak itu karena mereka merasa tidak sendirian.

Ada teman saya di Kanada bertanya: “Jepang kan negara donor, kenapa kok mengumpulkan dana juga dari masyarakatnya?” Mungkin jawabnya adalah bukan pada jumlah uang yang berhasil dikumpulkan, tetapi lebih pada rasa setia kawan atau rasa kebersamaan sebagai satu negara/bangsa sehingga ingin berbuat sesuatu. Rasa bersama inilah yang ada dalam setiap diri orang jepang. Rasa ini menjadi semangat bagi orang yang ditimpa bencana sehingga bisa bangkit lagi. Ada juga artikel yang dimuat di Kompas.com, mahasiswa atau mahasiswi jepang di Yogya mengumpulkan dana dari orang yang lewat di jalan (dengan pakaian Jepang). Tentu saja gerakan ini kalau dilihat jumlahnya tidak banyak, tapi “arti” dari yang dia lakukan itu cukup besar bagi dia sendiri dan bagi bangsanya. Ada rasa kesatuan sehingga tidak merasa sendirian dalam menghadapi bencana.

Pada hari ke-5 setelah gempa, yaitu tanggal 16 Maret 2011, transportasi utama di Tokyo untuk orang bekerja sudah normal. Ini juga berkat kerja sama antara TEPCO (perusahaan penyedia listrik), perusahaan kereta, dan Kementrian Transportasi. Memang kekurangan pasokan listrik masih ada. Akan tetapi, pengaruh ke kegiatan utama di perkantoran sedapat mungkin di kurangi supaya roda ekonomi tidak terlalu terganggu. Berkat kerja sama tiga instansi ini, di waktu orang berangkat dan pulang kerja, jumlah dan jadwal kereta semua normal. Artinya sama seperti sebelum gempa. Dengan demikian, orang berangkat dan pulang kerja seperti biasa. Jumlah kereta yang dikurangi adalah jam-jam tidak sibuk, yaitu jam 10 pagi sampai jam 6 sore. Suatu langkah penanganan yang juga berlandaskan semangat tidak sendiri, tapi bersama-sama mengatasi masalah.

Semangat bahwa tidak sendiri ini juga tampak jelas ditunjukan oleh pemain sepak bola asal Jepang, Nagatomo, yang bermain untuk klub eropa Inter Milan. Sebelum pertandingan, semua pemain dan penonton berdoa untuk Jepang. Setelah pertandingan, Nagatomo memegang bendera Jepang bertuliskan dalam bahasa Jepang dan juga bahasa Inggris: You will never walk alone. Sementara di layar TV dituliskan dalam bahasa Jepang, Sora ha tsunagatteiru node (kimochi ha ) tsunagaru to omoimasu ( Langit itu bersambungan/tidak terpisah, maka perasaan juga bisa tersambung ).

Ada satu ungkapan yang sudah diajarkan sejak anak TK ,SD, sampai dewasa, yaitu, chikara o awaseru, yang berarti kita bersama-sama menggalang kekuatan. Kalau sendirian tidak akan bisa, tetapi kalau bersama-sama kita susun kekuatan maka kita akan bisa melakukannya.

Pepih Nugraha (KOMPAS Jumat, 18 Maret 2011 | 08:30 WIB)

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
It s the time to payback to Japan

Saya yakin, mayoritas dari rekan-rekan sedang (pernah) menikmati berbagai fasilitas dari rakyat Jepang dan pemerintahnya.
Dari mahasiswa ingusan hingga bergelar Master atau Doktor, dari pekerja rendahan hingga menjadi pebisnis handal, dari keluguan menjadi keterbukaan.
Proses transformasi yang sedang (telah) terjadi dalam diri kita semua, meski semua diatur Allah, tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh Jepang dari segala aspeknya.
Mari kita bantu jepang, hilangkanlah segala gerutu, prasangka atau kekhawatiranTak elok rasanya kita berlari dari teman kita yang sedang membutuhkan
Tentu, sebagai tamu yang terus menerus diberikan hidangan bermutu, dimanjakan oleh berbagai fasilitas, di angkat harkat dan martabatnya, sungguh merupakan suatu dosa besar ketika kita meninggalkan tuan rumah yang tertimpa kesulitan.
Kini, bukan saatnya kita berpikir tentang diri kita pribadi.Ini adalah saatnyaKita Balas Kebaikan Jepang!!!!
Nippon Nippon Gambare!!!!!!
it is not about citizenship
it is beyond racial border
it is a social movement
Across the region
Passing the lines of religion
It is about us as god's creation

Pray for Japan

Fitra Faisal Hastiadi - President, Indonesian Student Association in Japan, 2010-2011

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

Catatan dari saya:

akhirnya, saya memutuskan utk bersikap proporsional dalam menghadapi situasi saat ini.

pada saat gempa masih di kota saya, pada saat peningkatan radiasi sudah terukur di propinsi sebelah propinsi saya, pada saat keluarga di indonesia panik luar biasa karena pemberitaan berlebihan dari media di indonesia, saya bersikap seperti ini:

- percaya pemberitaan dari media jepang dan informasi dari kampus

- paham kekhawatiran keluarga, tapi tetap menjelaskan kondisi sesungguhnya ke di indonesia, untuk menenangkan mereka

- pergi keluar kota menjauh sedikit dari kota saya, demi menenangkan keluarga

- tidak perlu sampai pulang ke indonesia.
mengutip tulisan seorang rekan, "tentu, sebagai tamu yang terus menerus diberikan hidangan bermutu, dimanjakan oleh berbagai fasilitas, di angkat harkat dan martabatnya, sungguh merupakan suatu dosa besar ketika kita meninggalkan tuan rumah yang tertimpa kesulitan"

- tidak menjadikannya situasi ini sebagai alasan untuk meninggalkan pekerjaan.
falsafah-falsafah hidup jepang, 'ganbaru' yg artinya ayo kita berjuang dan jangan menyerah untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup dengan, 'mandiri' dengan berusaha menyelesaikan semua masalah dengan usaha sendiri, '
chikara o awaseru' yang artinya you will never walk alone, dan tak lupa 'etika' yang selalu dipegang dalam segala sikap, menjadikan saya berpikir dua kali untuk mengalihkan konsentrasi menulis tesis.

- memutuskan apa pun dari diri sendiri, bukan karena pengaruh teman2 dan kepanikannya

akhirnya, saya kagum dengan jepang, bangsa beradab yang ketangguhannya dan ketabahannya memukau dunia. saya merasa beruntung berada di tempat yang ideal untuk memahami "ganbaru" sebagai way of life, lebih berharga daripada go international dan sejenisnya.

1 komentar:

hannyadityanta mengatakan...

komentarnya : bagaimana saya ikut jejak ibu sampai study ke japan :-)